Zamannya saja yang berbeda, (Ilustrasi).

 

Zamannya saja yang berbeda. (Ilustrasi/mahar p)

Jakarta, Skalainfo.net| Tentang UKW, Anggaran Negara, dan Jurnalisme yang Masih Bernyawa. Yang satu lahir dari disiplin pasukan kolonial Belanda. Yang satu dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang. Keduanya sama-sama meninggalkan jejak sejarah yang panjang: KNIL dan PETA. Rabu, 14/05/2025.

Setelah Indonesia merdeka, dua kelompok inilah yang sempat bersitegang. Perebutan pengaruh, siapa yang lebih patriotik, siapa yang pantas memegang posisi penting dalam tentara baru Republik. KNIL merasa lebih senior, punya latihan militer barat. PETA merasa lebih nasionalis, lahir dari rahim masa pendudukan, punya kedekatan emosi dengan rakyat.

Di masa itu, perseteruan KNIL vs PETA bukan sekadar tentang seragam atau senjata. Tapi tentang akses terhadap anggaran negara. Siapa yang lebih layak disebut pejuang, siapa yang lebih pantas digaji oleh negara.

Kini, puluhan tahun kemudian, saya melihat riaknya kembali—bukan di medan tempur, tapi di dunia jurnalistik.

Yang satu lulusan UKW—Uji Kompetensi Wartawan—yang dianggap resmi, legal, dan “kompeten” menurut Dewan Pers. Yang satu sudah lama malang-melintang di dunia media, bertahun-tahun menulis, menggali berita, membongkar kasus, tapi tak pernah ikut UKW.

Dulu KNIL dan PETA bersaing memperebutkan legitimasi dan peran. Kini wartawan UKW dan non-UKW bersaing untuk “diakui.” terutama saat ada pelatihan, kerjasama media, atau saat anggaran dari kementerian disalurkan lewat kanal komunikasi resmi.

Saya datang malam itu ke sebuah forum. Pertemuan kecil satu organisasi pers yang belum lama berdiri. Para anggotanya, ada wartawan muda, ada juga yang sudah cukup berumur, sedang bersemangat sekali ingin ikut UKW. Saya datang sebagai undangan biasa, bukan tokoh penting.

Ketua organisasi sambil menerima salam sapa dari beberapa peserta, saya datangi sambil memberitahu bahwa saya sudah menerbitkan feature tentang acara yang sedang berlangsung. Tadinya saya berharap puluhan wartawan itu yang berlomba paling dulu menerbitkan acara mereka.

Tiba-tiba ketua bertanya pada saya.

“Mas, sudah UKW?”

Saya tersenyum kecil. Belum sempat saya jawab, seorang kenalan, muda, di sebelah menjawab duluan, “Belum”.

Saya pun menyusul, “Saya sedang bersiap pensiun. Sudah 30an tahun lebih di dunia jurnalistik. Sekarang mau menulis buku”.

Ada yang tampak heran. Tapi saya melanjutkan, “Bagi saya, menulis buku lebih menantang. Di dunia penulisan buku itu prosesnya panjang. Bisa bertahun-tahun”. Soal ini sepik-sepik saya saja, supaya terlihat menulis buku itu tidak mudah, dan begitu ningrat.

Tak saya jelaskan bahwa saya biasa menyelesaikan satu buku dalam satu sampai empat minggu. Bahkan buku pertama tentang Jokowi dulu, saya rampungkan hanya dalam lima hari.

Setelah itu, barulah muncul buku-buku lainnya tentang beliau. Saya tidak masalah. Saya justru senang, karena saya merasa telah membuka jalan.

Saya tak menyebut kalau saya adalah Ghostwriter, yang mana saya kerap menulis buku pesanan, atau sekadar menyunting dan memberikan sentuhan pada sebuah buku yang sedang dipersiapkan penerbitannya.

Saya juga cukup waktu bersentuhan dengan dunia copywriting. Dari sana lahir gaya yang saya sebut jurnalisme mantera. Gabungan antara kekuatan bahasa dan intuisi komunikasi. Jauh sebelum UKW dijadikan syarat utama untuk menjadi wartawan “resmi,” kami sudah membentuk reputasi, tidak hanya melalui tulisan, tapi juga melalui konsistensi.

UKW sendiri kini seperti medan baru yang diperebutkan. Sama seperti KNIL dan PETA dulu, ia menjelma bukan hanya sebagai ajang uji kompetensi, tapi juga sebagai pintu masuk untuk sesuatu yang lebih pragmatis: anggaran.

Saya tidak tahu pasti berapa biaya per /orang, berapa yang diterima penyelenggara, berapa yang masuk ke lembaga penguji, dan berapa yang disetor ke Dewan Pers. Saya juga tidak tertarik soal itu.

Tapi saya melihat geliatnya. Sampai seorang kawan pernah berseloroh, organisasi pers hari ini jadi seperti agen penyelenggara UKW. Seperti sub-event organizer. Menawarkan pelatihan, mengurus sertifikasi, lalu mengakses dana dari kementerian atau dinas.

Saya berpikir, kalau sudah sejauh ini, kenapa tidak sekalian saja diperluas jadi biro jasa penyalur tenaga kerja pers? Supaya para lulusan UKW bisa benar-benar disalurkan ke media yang membutuhkan. Tidak hanya dibekali sertifikat, tapi juga saluran kerja yang nyata.

Tapi kalau UKW hanya dipakai sebagai tiket masuk ke program kementerian, proposal kerjasama, dan akses anggaran, mungkin lebih tepat jika lulusan UKW itu ditempatkan saja di bagian iklan. Sebab urusannya lebih mirip marketing daripada jurnalistik.

Saya tidak anti UKW. Tapi saya khawatir jika wartawan-wartawan muda ini hanya akan menjadi “pengelola dokumen” daripada penggali fakta.

Mereka lebih tahu format rilis acara, tapi tak tahu bagaimana mendesak narasumber. Mereka hafal kode etik, tapi takut menulis berita yang bisa membuat pemerintah tidak nyaman.

UKW seharusnya bukan sekadar tiket untuk mendapat pekerjaan atau anggaran. Ia seharusnya jadi pemantik: agar wartawan kembali berani bersuara. Menjadi whistleblower bagi publik, bukan bagi kepentingan sponsor.

Karena wartawan yang baik, bukan yang lulus UKW, tapi yang tak lulus kompromi.

Dan dalam sejarah, bukan yang punya sertifikat yang dikenang, tapi yang punya keberanian. (Red/Alfi).

Penulis: Mahar Prastowo.

By Admin

-+=