Kendari, Skalainfo.net| Sebanyak 4.000 petugas pemadam kebakaran telah dikerahkan untuk memerangi kebakaran Hughes yang terjadi sekitar pukul 11.00 pagi pada hari Rabu, waktu setempat, dekat Danau Castaic. Kebakaran Hughes yang menyebar dengan cepat, telah membakar lebih dari 10.000 hektar dan memaksa 31.000 penduduk mengungsi dari rumah mereka, terus mendatangkan malapetaka di Los Angeles. Sabtu, 25/01/2025.
“Kebakaran baru, yang dikenal sebagai kebakaran Hughes, melanda wilayah utara Los Angeles sejak Rabu waktu setempat ketika dua kebakaran mematikan, kebakaran Eaton dan kebakaran Palisades belum dapat dipadamkan sepenuhnya. Hingga Kamis pagi waktu setempat, kobaran api telah meluas hingga 10.176 hektar, dengan hanya 14 persen yang dapat dikendalikan”.
Pengkajian tentang kebakaran yang melanda Los Angeles, dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat manusia, Al-Qur’an telah menggambarkan tiga unsur prilaku mahlukNya.
Pertama, yaitu akidah, budi pekerti, serta hukum atau norma bagi manusia. Kedua, menganjurkan manusia untuk memperhatikan makhluk lainnya setelah dirinya sendiri, yaitu dengan memaparkan histori atau peristiwa sejarah, menginformasikan janji dan ancaman atas apa-apa yang telah di peringatkan-Nya dan balasan atau ganjaran baik itu di dunia maupun di akhirat. Ketiga, membuktikan melalui ketinggian sastra akan redaksinya, ilmu pengetahuan serta ramalan-ramalan yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Sekilas kita melihat dan memahami tentang peristiwa kebakaran di Los Angeles ini berdasarkan penalaran dari sudut pandang filsafat dan agama, bahwa azab adalah suatu kemurkaan Allah akibat pelanggaran yang dilakukan manusia.
Yaitu pelanggaran sunatullah dialam semesta, termasuk pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan rasul-Nya. Dalam Al-Qur’an disebutkan berbagai macam gambaran azab. Dari objek sasaran, maksudnya kepada siapa azab ditimpakan, ataupun waktu ditimpakannya. Al-Qur’an banyak menggunakan kata azab dalam ayat-ayat yang membicarakan tentang balasan Allah bagi makhluk-makhluk yang menentang-Nya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, dalam mencapai tujuannya yaitu dengan mengungkapkan salah satu ayatnya dengan memaparkan janji dan ancaman. Janji dan ancaman Allah diperuntukkan bagi manusia dan jin, yaitu yang menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua hal tersebut tentunya berkaitan dengan hukum-hukum yang difirmankan Allah dalam Al-Quran.
Berdasarkan hukum-hukum tersebut, Allah menjanjikan ganjaran atau balasan yang setimpal, baik itu balasan bagi perbuatan baik maupun buruk. Seperti dijelaskan dalam Qs. Al-Zalzalah/99: 7-8 sebagai berikut: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya Dia akan melihat (balasannya) dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya Dia akan melihat (balasannya) pula”.
Hal ini juga dijelaskan dalam konsep keikutsertaan keilmuan Katekismus Gereja Katolik menerangkan bahwa, “Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik, ia adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Ia melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Ia didefinisikan sebagai `kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi. Katekismus menyebutkan bahwa supaya satu perbuatan merupakan dosa berat, harus dipenuhi secara serentak tiga persyaratan:
Pertama; Perbuatan yang dilakukan mempunyai materi berat atau serius. Dosa berat adalah keji di hadapan Allah. Sepanjang bagian moral dalam Katekismus, sebagian dosa dipandang sebagai kejahatan sangat besar. Sebagai misal, perintah kelima melarang pembunuhan langsung dan dikehendaki sebagai dosa berat.
Kedua; Pendosa harus memiliki pengertian penuh mengenai kedosaan dari suatu perbuatan, dengan kata lain, ia haruslah bertindak dengan intelek yang tahu dan sadar bahwa perbuatan itu melanggar hukum abadi Allah.
Ketiga; Pendosa haruslah memberikan persetujuan penuh atas kehendak, artinya bahwa ia telah mempertimbangkan untuk melakukan perbuatan itu dan dengan sengaja mau melakukannya.
“Sesungguhnya, semua dosa adalah serius, sebab dosa melukai hubungan kita dengan Tuhan, dan sebab bahkan dosa ringan dapat menghantar orang pada dosa berat atau menjadi habitus jika tidak diperbaiki”.
Praktek mengaku dosa secara teratur membantu individu untuk membentuk suara batin yang lebih baik, menyadari kesalahan dan kelemahan, menolak percobaan dan menerima rahmat Allah guna memulihkan dan memperkuat jiwa. Dalam hal peristiwa kebakaran yang menimpa Los Angeles saat ini tidak terlepas dari azab, dosa manusia yang berhubungan erat dengan konsep karma yang menerapkan hukum kausalitas, dimana tindakan memiliki konsekuensi yang sesuai.
Teori karma sebagai prinsip dasar dalam ajaran. Ketika seorang individu melakukan tindakan kebajikan, mereka akan menuai pahala kebajikan. Sebaliknya, terlibat dalam kejahatan pasti akan menimbulkan penderitaan. Menurut ajaran yang diyakini bahwa hasil dari tindakan seseorang berkorelasi langsung dengan niat dan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, hasil yang diterima seseorang sesuai dengan benih awal yang ditanam. Mereka yang terlibat dalam perbuatan baik akan dihargai dengan hasil positif, sementara mereka yang mengambil bagian dalam tindakan tidak bermoral akan menghadapi konsekuensi negatif. Dengan demikian, seseorang akan mengalami buahnya sesuai dengan benih yang telah ditanamnya.
Lebih jauh dikatakan bahwa karma adalah kelahiran kembali yang menggambarkan sebuah contoh yang sangat baik dari jenis keyakinan yang jaminan utamanya adalah kekuatan sosial dan apapun daya tarik psikologis yang dimiliki keyakinan tersebut, bukan fitur apapun yang masuk akal. Walaupun secara ilmiah, sulit membuktikan adanya karma. Beberapa orang tidak percaya pada ajaran ini, sebagian orang percaya bahwa ini hanyalah propaganda agama dan bahwa akhirat atau kelahiran kembali tidak menjadi masalah jika seseorang puas dengan kehidupan saat ini. Saat ini, tidak hanya orang biasa, bahkan ilmuwan pun kesulitan mempercayai hukum karma. Karena itu, sebagian orang percaya bahwa ajaran ini menyesatkan, dan sebagian lagi memandang ajaran ini sebagai ajaran palsu. Hal ini karena belum ada bukti ilmiah tentang hukum karma.
Pemahaman inilah yang menjadikan manusia hadir dengan membuat kerusakan di muka bumi ini, dengan membawa ego dan arogansinya. Perlu dipahami bahwa maksud dari arogansi adalah penyakit yang bisa menghinggapi siapa saja yang benih-benihnya sering muncul tanpa disadari. Di level terendah arogansi ini disebabkan oleh faktor materi, pelakunya merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat dari pada orang lain. Di level medium, arogansi ini disebabkan oleh faktor intelektual, pelakunya merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di level puncak arogansi ini disebabkan oleh faktor kebaikan/kesahihan. Pada tingkat ini pelakunya menganggap diri bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain. Arogansi ilmiah merupakan bagian menarik untuk dibahas dan merupakan bagian dari nilai moral dalam pengetahuan.
Sejenak kita merefleksi awal mula tentang adanya arogansi dalam tafsir Al-Quran dikisahkan bermula dari keengganan Iblis untuk bersujud kepada manusia pertama (Adam). Dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin yang diciptakan dari api. Iblis dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Dalam ayat disebutkan: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat; ‘Bersujudlah kalian kepada Adam,’ maka bersujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 34). Secara sederhana, setidaknya tanda-tanda manusia yang memiliki arogansi ada tiga, yaitu: a. menganggap dirinya lebih baik dari pada orang lain, b. menolak kebenaran, dan c. meremehkan atau merendahkan orang lain.
Islam selalu mengajak penganutnya untuk berbuat baik dan menghargai sesama yakni: 1 Berupaya dalam rangka mendorong manusia untuk mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan sebagaimana petunjuk agama, 2. Islam menuntun manusia harus dapat mengendalikan pengetahuan yang ditemukannya agar dapat dimanfaatkan mengelola bumi dan langit beserta isinya dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah perlu mempertemukan pikir dan dzikir secara berimbang, karena terlalu banyak berzikir tanpa berpikir dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan yang akibatnya hanya menyebabkan kerugian bagi manusia sendiri. Tempat mempertemukan pikir dan zikir dalam filsafat sains yang tidak mengabaikan sepenuhnya tujuan diturunkannya manusia di bumi. 3 Salah satu yang dibahas dalam filsafat sains adalah nilai dalam pengetahuan. Termasuk didalamnya nilai moral.
Sebenarnya pemahaman terhadap apa yang disebut dengan “tiga posisi manusia,” dan tiga model relasi tersebut, diperuntukkan mencapai kebahagiaan manusia. Hanya saja, secara algoritmik melahirkan atau mempengaruhi pemikiran dan pengambilan kesimpulan. Awal kelahiran manusia di muka bumi, siapa pun dia, sesungguhnya berada dalam posisi “dependent” atau tergantung sepenuhnya kepada manusia lainnya. Meskipun, jika kita memahami ajaran Islam, ada satu pandangan yang diakui secara otoritatif sebagai bentuk pemahaman dan pemaknaan dari Al-Qur’an, bahwa sebenarnya sebelum manusia lahir di muka bumi, tepatnya pada saat akan ditiupkan ruh oleh Allah ke dalam janin, kelahirannya diawali dengan proses ikrar komitmen antara diri setiap manusia dengan Allah. Berarti posisi “dependent” manusia disini, bukan kepada manusia semata tetapi juga kepada Allah.
Seharusnya siapa pun dia, baik keberadaannya sebagai developed country, dan developing country maupun sebagai underdeveloping country, harus memahami dengan benar, baik, dan tepat “interdependent” tersebut dan interpersonal relation-nya. Artinya, posisi mereka saling tergantung yang dihubungkan oleh kesadaran etik, dan regulasi yang mengikat. Setiap perilakunya itu, dalam relasi yang dibingkai oleh kode etik dan aturan yang berlaku. Tidak ada satu pun negara yang dipandang di luar konteks etik dan regulasi.
Perintah yang diturunkan adalah perintah yang masih dalam koridor hukum, sehingga tidak mengandung potensi atau bahkan pelanggaran, baik secara personal maupun secara kolektif. Begitu pun mereka yang dipandang keberadaannya sebagai “underdeveloping country” jangan hanya bertumpu dalam perspektif hierarkis semata, dan prinsip “loyalitas terhadap keberadaannya sebagai “developed country,” tanpa melihat koridor hukum yang lebih otoritatif. Keluar dari cara pandang ini, keberadaannya sebagai “underdeveloping country” pun sesungguhnya sedang melakukan pelanggaran, baik etik maupun secara regulatif.
Melampaui dari sekadar pemahaman dan kesadaran etik dan regulatif, hasil dari “God relation,” yang memantik kesadaran spiritualitas-religiusitas, mampu memperkokoh posisi “interdependent” antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah negara. Hal ini menjadi penting, agar di antara mereka masih memiliki kemerdekaan, martabat kemanusiaan, kesadaran ilahiah, dan termasuk agar mereka tidak lagi terjerumus dalam posisi “dependent” (tergantung penuh terhadap negara lain). “God relation” dan hasilnya, yang bisa pula dipahami sebagai kesadaran primordial manusia sebagai umat yang beragama, karena terjadi sebelum kelahiran diri kita masing-masing, termasuk pula dalam prosedur kenegaraan sebagai instrumen kristalisasinya bisa dipetik dari ikrar atau pengucapan “perjanjian damai”.
Seiring dengan perjalanan hidup dan kehidupan manusia, atau setiap diri di muka bumi ini, harus ada proses yang disebut dengan “intrapersonal relation” (membangun relasi yang benar, baik, dan tepat dengan diri sendiri, termasuk memahami diri dengan baik). “Intrapersonal relation” yang benar, baik, dan tepat akan mengantarkan manusia untuk tidak lagi berada pada posisi dependent (tergantung penuh kepada negara lain) untuk beberapa urusan tertentu.
Wahai umat manusia di muka bumi ini, sadarlah bahwa ada hal urgensi, signifikansi, implikasi, dan bahkan relevansi pemahaman tentang “posisi manusia” yang bermuara pada “kemerdekaan diri”. Posisi manusia berdasarkan perjalanannya di muka bumi ini, berada dalam posisi “dependent,” “independent,” dan “interdependent”.
Posisi-posisi ini bisa saja berada dalam siklus yang bergerak secara linear dan hierarkis. Selain itu, terkait tiga model relasi manusia, dimana relasi tersebut perlu dipahami dengan baik, salah satunya adalah bisa menjadi cara pandang yang akan memerdekakan diri. Tiga relasi tersebut sebagaimana yang dipahami adalah “intrapersonal relation,” “interpersonal relation,” dan “God relation”. (Red).
(Penulis: Dr. Asmuddin, S.Pd., M.Pd., AIFO-FIT Dosen IKOR/Penjaskesrek UHO).
