Kendari, Skalainfo.net| Tak dapat dipungkiri pengaruh Islam di kawasan Nusantara cukup besar dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan. Daerah-daerah yang awalnya berstatus kerajaan mengubah sistem pemerintahannya dalam bentuk Islam dengan penyebutan sebagai daerah kesultanan. Beberapa daerah di Nusantara pada awalnya dipengaruhi oleh sistem ketatanegaraan Hindu dan Buddha. Kamis, 23/01/2025.
“Dalam studi kasus di Kesultanan Buton, pada awalnya lebih dipengaruhi oleh paham-paham Hindu karena Buton dianggap sebagai bagian dari kerajaan vassal Majapahit”.
Dalam kitab Negarakertagama pupuh 14 bait 4–5 disebut bahwa muwah tanah I bantayan pramukha bantayan len/luwuk, tken uda makatrayādinikanaŋ sanūşāpupul. Ikaŋ sakia sanūşanūsa makhasar butun/bangawi. Secara garis besar, Bantaeng, Luwuk, Sangia Talaut, Makassar, Buton, dan Banggai masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Wilayah Buton saat itu telah menjadi sebuah kerajaan atau sebuah negara yang memiliki struktur pemerintahan yang melaksanakan berbagai kebijakan adminitrasi pemerintahan.
Buton, sebuah kerajaan Islam (kesultanan) di Nusantara, berdiri pada abad ke-14, tumbuh dan berkembang hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai sebuah kesultanan yang eksis dalam rentang masa panjang perjalanan sejarah, Buton mewariskan khazanah kebudayaan manuskrip, hukum, seni, upacara, kerajinan, dan bentuk kearifan lokal lain sebagai hasil kreativitas masyarakatnya dalam membangun kehidupan sekaligus beradaptasi dengan tuntutan perubahan.
Buton adalah salahsatu daerah kepulauan yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara Indonesia. Perkembangan dalam budaya masyarakat lokal ini telah mendorong perubahan dalam pelapisan sosial dalam masyarakat Buton. Setelah pemekaran daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat saat ini, wilayah Buton terbagi menjadi beberapa wilayah Kabupaten, yaitu: Kabupaten Buton. Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah. Buton pada masa lampau merupakan sebuah wilayah kerajaan, yang sampai sekarang ini masih tersimpan sejumlah peninggalan kebesaran masa lalu.
Berbagai tradisi dalam masyarakat sebelum kedatangan Islam masih mewarnai dalam kehidupan masyarakat Buton dan mengalami perpaduan dengan Islam yang hadir dalam masyarakat Buton sekitar tahun 815H atau 1412 M, selanjutnya memunculkan “akulturasi budaya dalam masyarakat Buton,” antara budaya masyarakat lokal dan Islam. Perkembangannya kemudian yakni budaya masyarakat lokal yang tidak bertentangan dengan Islam akan hidup dan menjadi prinsip hidup dalam masyarakat di Buton.
“Kehadiran Islam di Pulau Buton, tidak menyebabkan hilangnya budaya lokal bahkan beberapa budaya lokal perkembangannya mendapat pengaruh dari Islam sehingga mendorong terjadinya akulturasi budaya antara Islam dan budaya local”.
Perkembangan berbagai budaya lokal yang hidup di masyarakat, tidak otomatis lenyap dengan kedatangan Islam. Berbagai budaya lokal tersebut sebagian telah terus berkembang dengan mendapat berbagai warna dalam Islam. Budaya lokal yang tidak bertentangan dengan Islam telah menjadi prinsip dalam kehidupan masyarakat Buton. Untuk kategori sosial telah mengalami perubahan kearah ekonomi. Mereka yang memiliki barang-barang yang berharga dan kekayaan lainnya memiliki daya tarik yang menonjol dalam kehidupan masyarakat.
Struktur lembaga keagamaan yang biasa disebut “sara kidina” sampai saat ini masih menujuk kan perannya dalam masyarakat secara fungsional, walaupun demikian system pemerintahan kesultanan atau biasa disebut “saraogena” sudah tidak tampak lagi karena terintegrasinya Buton dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun untuk jabatan “mokimu” berjumlah 40 orang yang zaman dahulu pernah ada dalam sistem pemerintahan kesultanan, saat ini masih digunakan. Keberadaan lembaga “mokimu” tetap bertahan dan tetap fungsional hingga zaman modern sekarang ini. Pelapisan sosial dalam masyarakat seperti terjadi pada zaman Kesultanan dapat dikatakan keberadaannya sudah tidak menguat. Budaya masyarakat lokal adalah budaya yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakatnya menempati suatu lokalitas atau wilayah tertentu yang dapat dibedakan dengan budaya lokal yang dimiliki masyarakat yang ada di wilayah yang lain. Dan dapat juga dimasukan tentang upaya pengembangan identitas budaya yang berdasar dalam hubungan secara langsung dalam komunitas dan keluarganya, termasuk juga dalam hal ini yakni bahasa, agama, adat istiadat masyarakat, dan tradisi.
Budaya dalam masyarakat lokal tidak hanya menunjukan sistem nilai dan pengetahuan secara bersama, skema pemikiran dan produksi secara simbolik, namun juga menggambarkan model dari perilaku dan secara terus-menerus mendorong terbentuknya berbagai tahapan sosialisasi yang dilalui oleh masyarakat serta yang menjadi anggota kelompoknya.
Kebudayaan, adalah sebagai seperangkat ciri spiritual maupun material yang spesifik, merupakan ciri secara intelektual dan afektif yang telah menjadi ciri suatu masyarakat atau berbagai kelompok sosial dalam kurun periode tertentu. Budaya lokal sebenarnya sudah terpelihara secara turun-termurun, sebagai identitas kelompok masyarakat dalam berhubungan dan berperilaku dengan lingkungan. Dengan masuknya Islam di Pulau Buton status pemerintahan kerajaan kemudian berubah menjadi daerah kesultanan.
Masyarakat Buton menganggap Islam sebagai datangnya peradaban yang lebih baik dan unggul. Seperti digambarkan dalam salah satu filsafat dalam masyarakat Buton yaitu “bolimo araata somanamo karo” (Tak perlu harta yang penting memikirkan diri), “bolimo karo somanamo lipu” (Tak perlu diri yang penting memikirkan daerah), “bolimo lipu somanamo sara” (Tak perlu daerah yang penting memikirkan adat), dan “bolimo sara somanamo agama” (Tak perlu adat yang penting memikirkan agama). Kesultanan Buton menurut beberapa ahli sejarah dapat berjalan selama kurang lebih 400 tahun, dan akhirnya abad ke-20 (1960) setelah Sultan Laode Muhammad Falihi wafat telah berakhir.
Masyarakat Buton dikenal dengan peradabannya cukup tinggi dan sampai saat ini masih dapat disaksikan, antara lain Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terluas di dunia, memiliki Istana yang disebut “Malige” adalah rumah adat tradisional yang berdiri kokoh sampai saat ini dan banyak lagi.
Khazanah kekayaan Buton yang dapat dieksplorasi dalam studi-studi ilmiah, baik dari aspek kultur berdasarkan pada ajaran Islam dan telah memperhatikan perubahan lingkungan kerajaan di sekitarnya. Meskipun demikian, ragam informasi dapat memperluas khasanah pengetahuan kita tentang Buton, baik dalam aspek kesejarahan, warisan budaya, maupun perubahan sosial.
Terlepas dari semua itu, sebagaimana layaknya nasib sebuah teks, pembaca dapat menangkap inspirasi lain di balik informasi sejarah dan tafsir yang disuguhkan. Itu semua sah adanya, quo vadis. (Red).
(Penulis: Dr. Asmuddin, S.Pd.,M.Pd.,AIFO-FIT Dosen IKOR/Penjaskesrek UHO).
