Kendari, Skalainfo.net| Kementerian pendidikan merupakan Institusi formal yang tidak sebesar namanya akibat gejolak pribadi yang telah melenceng dari makna “mendidik” secara drastis menghilang dan jauh dari harapan, padahal institusi itulah yang sejatinya mampu menampung gejolak aspirasi khususnya para pemerhati pendidikan. Senin, 20/01/2025.

Sungguh akan menjadi sebuah kehilangan besar bagi generasi muda sekarang, untuk mampu menumbuhkan gaya hidup bermoral baik jasmanai dan rohani melalui aktivitas fisik yang berakhlak, dan apa jadinya jika seorang pemimpin kita berbuat zalim?. Entah apa jadinya jika masyarakat pendidikan tetap mengabaikan dengan permasalahan krusial demikian, sementara sebagian besar dari kita masih sibuk mencari pejabat manakah yang cocok menjadi sosok pemimpin panutan umat pada Institusi yang bertanggungjawab terhadap pendidikan agar kualitas pendidikan mendatang kita tidak mendapat malu.

Ironi apalagikah yang harus ditanggung oleh pendidikan kita? Berbicara masalah moral, pada era globalisasi khususnya di Indonesia saat ini banyak terjadinya aksi dan tindak kekerasan yang seringkali kita lihat baik melalui media elektronik maupun cetak, seperti pemukulan murid kepada Kepala Sekolah atau guru sampai tewas, siswi jual diri untuk mendapatkan sejenis narkotika, tawuran antar pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mabuk-mabukkan, dan tindak anarkis lainnya.

Itulah salahsatu fenomena mengkhawatirkan dan menyedihkan yang kini tengah menimpa bangsa kita, salahsatu penyebabnya adalah karena terjadinya dekadensi moral. Ditengah zaman dimana dekadensi moral telah terjadi dimana-mana, baik di kalangan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, maka penekanan kembali terhadap pembinaan moral merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak yang tidak bisa lagi diabaikan.

Diantara unsur-unsur yang sangat urgen dalam proses kegiatan kerja adalah seorang pemimpin. Untuk mengantarkan seorang bawahan dapat bekerja dengan baik tentunya membutuhkan pemimpin yang bermoral dan beretika, hal ini tidak akan lepas dari peran dan tanggungjawab dari seorang pemimpin untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan bawahan, baik dari aspek moral, spiritual, intelektual, estetika maupaun kebutuhan yang berbentuk fisik dari bawahan itu sendiri.

Pemimpin sebagai seorang “top leader” harus mampu melihat kondisi psikologi bawahan, karena seorang pemimpin memiliki andil yang sangat besar dalam pembentukan moral bawahan. Oleh karena itu, keteladanan, kepribadian dan kewibawaan yang dimiliki oleh pemimpin akan memberikan dampak positif ataupun dampak negatif dalam pembentukan kepribadian dan watak bawahan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi; “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah SWT dan kedatangan hari kiamat, dan Dia banyak menyebut Allah SWT”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan, oleh karena itu pemimpin seharusnya memiliki kepribadian yang baik seperti apa yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW. Pemimpin dalam kegiatan kerja adalah orang yang utama dan pertama yang berinteraksi langsung dengan bawahan, oleh karena itu tentu pemimpin harus mampu memberikan uswatun hasanah atau contoh yang baik terhadap para bawahan. Positif dan negatifnya kepribadian pemimpin akan dapat memberikan dampak secara signifikan terhadap bawahan dalam kegiatan kerja, pemimpin harus benar-benar memilki kepribadian yang luhur yang bisa dicontoh oleh para bawahan, karena hal itu akan menjadi barometer tentang keberhasilan bawahan dalam kegiatan kerja.

Keberadaan dari seorang pemimpin dituntut untuk mempunyai kompetensi kepribadian dalam kegiatan kerja, dengan memiliki kompetensi itu, maka seorang pemimpin harus berkepribadian mantap, stabil, dewasa, arif, wibawa, dan disiplin. Dengan demikian sikap dan kepribadian dari seseorang pemimpin akan berdampak secara signifikan, bilamana para bawahan mempunyai pandangan yang buruk terhadap kepribadaian pemimpin, tentu hal ini akan berdampak pula terhadap pencapaian prestasi dan hasil kerja bawahan yang kurang maksimal. Dalam lingkungan kerja inilah seharusnya pemahaman nilai-nilai agama islam yang benar lahir dari proses pelatihan dan pembiasaan atau pembinaan moral dengan memberikan suri tauladan yang baik, kultum, sanksi serta sikap tegas dari seorang pemimpin.

Dalam pembinaan moral yang baik tidak didasarkan pada ajaran-ajaran yang sifatnya perintah atau larangan semata. Akan tetapi harus berdasarkan pada pemberian contoh yang baik dari seorang pemimpin yang berada di lingkungan kerja. Dengan demikian sangat urgen bagi seorang pemimpin untuk memberikan bimbingan secara khusus agar bawahan bisa memiliki moralitas yang baik, salah satunya adalah melalui pendidikan agama Islam. Sungguh mengherankan bahwa seorang pemimpin pendidikan yang semestinya hanya menjadi sebagai “top leader” yang sudah menyita sedemikian banyak waktu untuk berbuat zalim terhadap bawahan. Dalam kondisi seperti itu, bidang tugas yang aktif dalam keseluruhan institusi hanya membuat blunder para bawahan dan masyarakat luas.

Karenanya, jangan pernah berharap bahwa pemimpin Institusi yang dicari setiap saat ditakar kompetensinya dari bagaimana konsepnya tentang kemampuan dan manajerial serta bagaimana merumuskan sistem pendidikan nasional yang bisa dijadikan acuan bagi perumusan sub-sistem pendidikan yang bisa diberlakukan oleh semua instansi. Lebih jauh, bahwa Institusi pendidikan, akhirnya mengabaikan dengan urgensi pembinaan secara komprehensif, yang didorong oleh mencuatnya ambisi pribadi dan chauvinisme sempit tentang makna “pengabdian” melalui pendidikan. Karena tidak adanya acuan tentang bagaimana menjalankan fungsi pembinaan moral di segala level. Jangan heran mendengar visi dari setiap “top leader” yang hanya berkutat pada masalah urusan pribadi yang mengabaikan kepentingan umum, tentunya berdampak pada implementasinya hanya dituangkan dalam perencanaan program yang tidak jelas.

Lebih sering, bawahan sudah tahu diri terlebih dahulu, dengan berancang-ancang tidak mengajukan program apapun yang berkaitan dengan pembenahan kualitas pendidikan baik di daerah, maupun di pusat. Ini tentu sebuah ironi yang memprihatinkan. Ironi lain tentu tidak luput dari konsekuensi mengelola pendidikan secara serampangan, yakni: Di Indonesia, mengurus pendidikan itu tidak perlu keahlian hanya butuh pendekatan, muncullah penyelewengan istilah dari indeks prestasi (IP) menjadi indeks pendekatan (IP).

Yang penting ada kemauan untuk mengabdi, tanpa pengetahuan dan keahlian yang memadai pun sudah dipandang cukup. Kondisi demikianlah yang menyebabkan kualitas pendidikan dalam segala bidang di Indonesia tidak pernah berkembang. Kalau kita merefleksi kembali tentang sejarah pendidikan kita, dimana pada era tahun 70-an Malaysia belajar di Indonesia, dan betapa memilukan justru sekarang masyarakat kita yang belajar di Malaysia. Pada akhirnya seluruh masyarakat Indonesialah yang menuai akibatnya. (Red).

(Penulis: Dr. Asmuddin, S.Pd.,M.Pd.,AIFO-FIT Dosen IKOR/Penjaskesrek UHO).

By Admin

-+=