Jakarta, Skalainfo.net| Aksi demonstrasi yang digelar oleh PC PERISAI Jaktim untuk mengingatkan kembali kerusakan hutan dan ecosystem dipulau OBI Maluku Utara dan juga pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang telah diluluh lantakkan oleh anak perusahaan PT Harita Group yakni PT TBP (Tri Megah Bangun Persada) di pulau OBI, operasi tambang dan pabrik smelter nikel milik keluarga konglomerat Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Jum’at, 6/10/2023.

“Puluhan masyarakat dan anggota dari Pimpinan Cabang PERISAI (Pertahanan Ideologi Sarekat Islam) Jakarta Timur, berorasi di depan kantor PT Harita Group gedung Panin Bank Jalan Jenderal Sudirman Senayan menuntut PT HARITA GROUP Angkat Kaki dari Pulau OBI dan pulau Wawonii Sultra yang telah merusak ecosystem dan mengganggu kesehatan manusia”.
Koorditor aksi Abjan Said mengatakan, dampak lingkungan terhadap masyarakat di pulau OBI sudah sangat besar, akibat pembongkaran lahan hutan skala besar dan pembuangan limbah yang tidak bisa didaur ulang juga dibuang sembarangan disana, katanya.
Yang lebih kami fokuskan, yaitu masalah penyerobotan lahan warga yang dilakukan oleh PT TBP (Tri Megah Bangun Persada) Harita Group, serta dampak lingkungannya, setelah ruang hidup warga dicaplok dan dicemari, pihak perusahaan mulai memaksa warga untuk direlokasi kelahan ecovillage milik perusahaan, berjarak lima kilometer dari Selatan Kawasi pulau OBI.
Karena saat ini tempat warga bermukim dilingkar tambang itu dianggap dekat dengan pabrik dan zona rawan gempa, namun warga masyarakat menolak untuk direlokasi karena tempat yang dijadikan desa percontohan itu tidak sesuai dengan keinginan warga dan berada didaratan rendah justru tempatnya itu rawan kena banjir, katanya.
Abjan menambahkan, ekstraksi yang dilakukan perusahaan dibawah PT Harita Group sudah meninggalkan kerusakan terparah kepada lingkungan butuh waktu sangat lama untuk pemulihanya. Mulai pembukaan lahan hutan skala besar mencemari air, udara dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan manusia dan ecosystem, membongkar Kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan terhadap warga local.
Operasional industry tambang dan smelter nikel, dimana seluruh suplay energi listriknya bersumber dari batubara, juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lainnya yang kaya oleh batubara.
Penghancuran daratan dan wilayah laut pulau OBI, “jejak kotor PT Harita Group di Kawasi pulau OBI, bukan hanya dari pembangunan pengolahan pabrik nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak tahun 2010 lalu, Kawasi merupakan kampung tertua dari pulau OBI Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, luasnya mencapai sekitar 286 KM2, dihuni oleh warga lebih dari 1.118 jiwa penduduk. Masyarakat Kawasi hidup didaratan dan pesisir pulau OBI sejak 1980 an.
Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela dipulau Halmahera dan sebagian lagi dari pulau Buton, mata pencaharian warga adalah bertani dan melaut.
Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi di Kawasi, yang semula warga hidup damai berkebun dan melaut untuk memenuhi kebutuhan keluarga, berubah menjadi lahan pertambangan yang meluluh lantakkan wilayah daratan, pesisir dan laut.
Lahan-lahan dan ladang warga dicaplok, tanaman dan perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki oleh debu dan polusi, air laut keruh dan kecoklatan bahkan ikan-ikan tercemar logam berat,” ucap Abjan Said.
Ironisnya, proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur, justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan. Perusahaan selalu menggunakan siasat licik dengan menerobos terlebih dahulu baru mengadakan negoisasi, siasat itu selain merugikan warga juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan.
Disaat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu tanah milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan sudah membayar pajak, tutup Abjan. (Red/Tarsama).
