
Oleh : Drs. H. M A Latif Rozananto.
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang)
Tangsel, Skalainfo.net| Seminggu terakhir ini banyak masyarakat memperbincangkan dengan adanya pengesahan RKUHP yang sudah di ketok palu oleh anggota DPR di Senayan. Dengan mengesahkan Undang-undang tersebut maka banyak kontroversi yang akan bermunculan bila mengacu kepada RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan tentunya sangat merugikan pihak masyarakat. Sabtu, 17/12/2022.
“Hilangnya suara untuk mengambil kebijakan yang di kerjakan oleh pemerintah menandakan semakin terpisahkan masyarakat dengan pemimpinnya, artinya tanah yang dipijaknya bukan hak dari rakyat tetapi pinjaman dari penguasa negara”.
Oleh sebab itu perlu untuk ditinjau ulang dalam pengesahan RKUHP, dan semestinya perlu digaris bawahi bahwa penerapan Undang-undnag itu untuk siapa? Jika diperuntukkan kepada rakyat Indonesia maka yang dipelosok Indonesia pun akan memahami insentitas dari RKUHP itu.
Kita mengharapkan dari RKUHP itu jangan mengkungkung rakyat dan membatasinya kebebasan dari hasil kemerdekaan Indonesia. Dipelosok negeri sana banyak yang belum paham hukum tetapi mereka sadar bahwa mereka Indonesia yang sudah merdeka. Bila kita melongok dari pasal per-pasal RKUHP sungguh mengkekang dari kebebasan anak bangsa, bila hal ini dilakukan oleh sebagian kelompok di pelosok negeri sana tentang mengkritiki kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat lalu dikenakan dengan RKUHP tentunya sangat banyak nanti secara beramai-ramai memenuhi ruang tahanan, atas RKUHP yang di sahkan oleh anggota DPR yang disebut sebagai wakil rakyat Indonesia.
Mengapa disebut demikian contoh dari pasal RKUHP yang berbunyi dari Pasal 218 ayat (1) RKUHP: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Persepsi yang disebut menyerang itu bukan secara paktual melainkan memberi perbandingan atau kesesuaian apa yang dicanangkan pemerintah itu, yang menurut warga kurang pas. Begitu juga tinjuan hasil kinerja pemerintah itu tidak maksimal dan tidak se-efeisen dengan yang seharusnya. Kalau di kritik secara beramai dari hasil kinerja pemerintah itu apakah disebut akan melanggar dari RKUHP, dan masih banyak lainnya yang sama dengan persepsi yang berbeda.
Oleh karena itu kami kurang menyambut baik atas RKUHP yang telah di sah kan oleh anggota dewan di Senayan, masih banyak kajian didalam penerapannya yang harus disesuaikan dengan keadaan negeri ini. Disisi lain, disebut Undang-undang Indonesia mengadopsi hukum belanda ini tidak sepenuhnya demikian, bahwa sudah banyak Indonesia merubah pasal-pasal yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum di Indonesia.
Namun demikian, hukum yang sudah ada dari dulu yang di terapkan di Indonesia yang memang sesuai oleh era dan kultur di negeri Indonesia, bukan mengadopsi akan tetapi mencontoh beberapa point yang ada pada hukum yang ada pada belanda.
Mencermati apa yang di katakan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly saat ini Indonesia sudah bisa menyelenggarakan KUHP sendiri tanpa menggunakan KUHP Belanda. Menurut saya bukan KUHP Belanda yang kita gunakan akan tetapi persamaan yang ada di KUHP Belanda itu yang sesuai dilaksanakan di Indonesia.
Selama bertahun-tahun kita tidak merepotkan negeri tetangga dengan hukum yang sudah kita terapkan di Indonesia, justru negeri tetangga sangat menghormati apa yang telah diputuskan oleh hukum di Indonesia.
Undang-undang dibuat atau peraturan di tegakkan seluruhnya untuk kepentingan masyarakat Indonesia agar hak-hak sebagai warga negara tidak terdzolimi serta mendapatkan keadilan dan kesejahteraan hak sebagai anak bangsa Indonesia.
Patut kita banggakan bila hak-hak diatas dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Bila RKUHP sudah menuai kontroversial diawal pembuatan bagaimana bisa menjadi acuan dalam penerapan sehari-harinya, bila pasal demi pasal yang sangat tidak relevan bagaimana bisa masyarakat akan mendapatkan keadilan.
Bila semua hukum perundang-undangan harus melalui MK untuk apa dibuat Undang-undang yang menharuskan rakyat untuk cari pembelaan dengan merujuk kepada putusan MK. Sedangkan putusan MK itu hanya konstituen negara.
Muncul pandangan oleh Menkum HAM Yasonna bila pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu maka disarankan untuk protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikannya melalui mekanisme yang benar mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam hemat saya bahwa Undang-undang itu sebagai pedoman yang semestinya menjadi rambu-rambu dikehidupan, bila dilanggar akan terdampak imbas dengan pasal-pasal yang sudah di tentukan itu. Tetapi RKUHP ini di perlihatkan, kesengajaan untuk mengkaitkan perilaku rakyat dari kebijakan yang pemerintah terapkan. Dan nantinya akan ada yang tidak puas atas pemangku kebijakan pemerintah, tentunya kegiatan warga masyarakat sudah dibayangi dengan RKUHP di kehidupan warga masyarakat sehari-harinya. (Red).
