B

Tangsel, Skalainfo.net| Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)  menimbulkan persoalan baru dari tahun ke tahun, kini untuk tahun ajaran 2022 – 2023. Jum’at, 15/7/2022.

Dari mulai Pendaftaran sudah membuat kisruh, bikin stres orang tua. Di Kota Tangerang Selatan misalnya kebanyakan orang tua yang berkeluh kesah tentang proses PPDB tersebut.

Seperti yang terjadi di banyak SMA Negeri Kota Tangsel. Pantauan Wartawan Skalainfo.net dibeberapa lokasi, meski PPDB ini menerapkan sistem online, tapi banyak orang tua murid yang tetap datang ke sekolah.

Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang SMA Negeri di Kota Tangsel menyisakan banyak drama dan persoalan, mulai dari sistem, PIN,  website pendaftaran tidak bisa diakses, hingga mengadunya orang tua siswa ke dinas pendidikan setempat (Provinsi Banten).

Sudah terlalu banyak siswa/siswi yang melanjutkan sekolah di jenjang SLTA Kota Tangsel menjadi momok yang menakutkan. Terlepas dari kurangnya sarana tampung untuk sekolah tingkat SLTA, namun akan menjadi sulit di negeri ini untuk meningkatkan kecerdasan terhadap anak bangsa. Hal serupa ini ke tidak sesuaian dengan amanat UUD 1945 serta pedoman dalam Penghayatan Pancasila sebagai Dasar Negara RI.

Sehingga dalam memberikan peraturan yang ditrapkan pada masyarakat, tidak menempatkan pada posisi kepentingan masyarakat banyak. Jadi dikatagorikan Undang-undang yang sudah disahkan dapat dimentahkan oleh peraturan.

Buah pikiran bagi warga masyarakat yang berdomisili di Kota Tangsel, setiap tahun kejadian seperti PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun 2022 ini, segala urusannya yang tidak lepas dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten, sehingga anak-anak yang tidak lolos zonasi berdomisili di Kota Tangsel, Sudah tentu murid harus mencari sekolah jenjang SLTA di luar Kota Tangsel, karena begitu rumitnya urusan di tingkat SLTA Kota Tangsel.

“Semua tumpuan urusan bila sudah tidak masuk zonasi selalu menyerahkan kepada pihak Provinsi dengan alasan kuota sekolah sudah tidak ada penambahan, bila ada koneksi di Provinsi kemungkinan pihak sekolah akan memberikan kebijakan,” ujar Ibu Muriati (nama samaran) warga Tangsel.

Menurut data real time itu sangat membuat mental anaknya jatuh, apalagi dirinya terikat oleh aturan jarak sekolah dan rumah pada PPDB ini. Ia menyebutkan jika ada aturan tersebut, harusnya anaknya lulus karena saat mendaftar sudah otomatis tidak bisa masuk ke SMA lain yang jaraknya lebih jauh.

“Ini adalah suatu cermin kegagalan Kepala Daerah Kota Tangsel menangani soal pendidikan atau PPDB  baik SD, dan SMP di Kota  Tangsel, yang tidak bisa disamaratakan pendidikan dengan wilayah lainnya,” tambahnya.

Menurutnya, pada hal kita tahu bahwa Kota Tangsel sebagai penyangga Ibu Kota Jakarta dan mutu pendidikannya pun sudah prioritas.

“Saya baru merasakan kisruhnya soal PPDB di Kota Tangsel ini. Zonasi bukan jaminan untuk anak didik yang mendaftar disekolah SMA Negeri, namun lebih kepada koneksi atau materilisasi, kalau hal ini tidak distop maka negara Indonesia bidang pendidikan sudah tidak punya moral,” ungkap Muriati dengan nada kecewa.

Ia juga menyampaikan, bahwa pihak panitia PPDB dan Kepala Sekolah Khususnya SMAN tidak memberi opsi ketika anak didik itu tidak masuk ke sekolahan yang diinginkan. Dan cendrung juga para panitia yang melaksanakan PPDB sering menghilang dan tidak bisa ditemui untuk mendapat jawaban atau solusi saat anak-anak tidak diterima di sekolah tersebut.

Seharusnya para panitia itu ada ditempat saat orang tua siswa ingin mencari solusi atau cara apa yang akan ditempuh, para panitia sebaiknya ada ditempat untuk mengayomi demikian juga kepala sekolah, tidak menghindar terus menerus dari persoalan.

Bagi orangtua, pendidikan anak-anaknya tentu prioritas utama, terlebih saat mendaftar sekolah. Ketika tidak ada kepastian soal di mana anaknya akan bersekolah, mereka juga ikut stres.

“Anak kecewa dan stres lantaran merasa sesuatu yang diinginkan tidak tercapai, dilihat secara psikologis, ini bisa saja anak melakukan percobaan bunuh diri karena kecewa/ tidak lolos masuk dalam impian ke sekolah negeri,” ujarnya, berdasarkan laporan dari Komnas Perlindungan Anak, lalu siapa yang bertanggung jawab.

“PPDB sekarang di Kota Tangsel sangat mengecewakan, kami sebagai orang tua ingin anak kami bersekolah di Tangsel, karena kami berdomisili di Tangsel masak kita hidup ditangsel anak kita sekolahnya di Bogor,” ungkapnya kesal.

“Guru memberikan cermin yang baik kepada anak didik disekolah, namun..yang terlihat sangat susah mencari sekolah di Kota Tangsel, terbayang bila ini berlarut-larut semakin buruk moral dan hancur mutu pendidikan di Kota Tangsel,” tutupnya.

Sebanyak 12 sekolah SMA Negeri yang berada di Kota Tangsel dengan banyaknya jumlah anak didik lulusan dari SMP misalnya, kurang lebih seribuan siswa.

Sedangkan kapasitas 12 sekolah SMA Negeri itu hanya 600 siswa yang bisa diterima. Ada baiknya Pemimpin Daerah Kota Tangsel (Wali Kota Tangsel) dapat melakukan terobosan penambahan sekolah SMA Negeri agar anak lulusam SMP dapat melanjutkan kejenjang sekolah SMA Negeri.

Daya tampung siswa/siswi ke sekolah SMAN di Kota Tangsel sudah tidak memadai untuk animo murid yang mendaftar sekolah. Sementara pihak sekolah selalu mengatakan, SMA Negeri Kota Tangsel sudah over load.

Dalam rentang masa yang berlalu, seharusnya ini sudah menjadi pelajaran dari tahun ke tahun tentang pendidikan, namun Kepala Daerah Kota Tangsel masih menganggap ini seperti hal yang biasa. Semoga kejadian PPDB tahun ini sebagai cambuk bagi pemerintah Kota Tangsel agar tidak ada lagi kecemburuan sosial atau timbang pilih bagi orang tua yang mendaftarkan anaknya disekolah SMA Negeri di Kota Tangsel. (Red/Esky).

By Admin

-+=