Jakarta, skalainfo.net | Tidak ada logikanya sama sekali kalau dalam transaksi bisnis bernilai puluhan miliar rupiah tak didukung kwitansi atau tandaterima pembayaran atau cicilannya. Sama halnya tidak logisnya pula klaim-klaim terdakwa Tedja Widjaja dalam pledoinya yang menyebutkan bahwa dirinya telah melunasi semua kewajiban atau pembayaran atas pembelian lahan kampus Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UTA 45) tanpa kwitansi atau tanda bukti pembayaran/pelunasan sama sekali
Hal itu dilontarkan penasihat hukum UTA 45 Dr Anton Sudanto SH MH menanggapi pledoi Terdakwa Tedja Widjaja dan pembelanya usai persidangan kasus penipuan dan penjggelapan dengan terdakwa Tedja Widjaja di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Senin (17/6/2019). “Pledoi terdakwa maupun tim penasihat penasihat hukum Tedja Widjaja itu tidak saja tak logis tetapi cenderung sebagai karangan bahkan halusinasi terdakwa,” ujar Anton Sudanto di PN Jakarta Utara, Senin (17/6/2019).
Anton Sudanto yang juga salah satu dosen di UTA 45 mengakui Ketua Dewan Pembina UTA 45 Rudyono Darsono agak “terjebak” dengan permainan terdakwa dengan kawan-kawannya. Sebelum transaksi atas sebagian lahan UTA 45 antara Yayasan UTA 45 dilaksanakan, misalnya, teman-teman terdakwa memperkenalkan terdakwa Tedja Widajaja sebagai konglomerat. Tedja Widjaja disebutkan memiliki uang cas atau uang segar sedikitnya Rp 100 miliar yang siap diinvestasikan.
Tertarik mendengar hal itu, maka disepakatilah pembelian sebagian lahan lokasi kampus UTA 45 oleh Tedja Widjaja. Pembayarannya sebagian dengan pembangunan gedung kampus UTA 45 terdiri delapan lantai, uang tunai dan sebidang tanah di perbatasan Depok, yang nilai keseluruhannya Rp 67 miliar lebih.
Cara pelunasan pembelian tanah kampus UTA 45 tersebut disepakati pula dengan sistim bank garansi. Namun bank garansi ini tidak pernah dibuat Tedja Widjaja hingga kini. Dengan begitu tidak ada pembayaran apalagi sampai lunas, bahkan berkelebihan uang terdakwa Tedja Widjaja di UTA 45 di Yayasan UTA 45 jika mengikuti pledoi terdakwa maupun pembelanya.
Namun berkat tipu daya Tedja Widjaja itu sebagaimana disebutkan dalam requisitor JPU Fedrik Adhar SH MH, terdakwa Tedja Widjaja bisa membuatkan lima akta jual beli (AJB) atas lahan milik Yayasan UTA 45 itu sebelum dilakukan pembayaran. AJB ini kemudian diagunkan ke Bank Artha Graha. Dengan uang hasil pinjaman inilah terdakwa melalui perusahaannya PT Graha Mahardika membangun gedung kampus UTA 45.
Tidak itu saja, sebagian lahan kampus UTA 45 yang telah beralih sesuai AJB dibangun rumah toko oleh terdakwa Tedja Widjaja. Bahkan beberapa unit ruko itu dijual pula ke beberapa pengusaha. Namun akhirnya menjadi sumber persengketaan karena tidak bisa dibaliknama menjadi atas nama pemilik baru tersebut.
Pembangunan gedung kampus UTA 45 yang delapan lantai pun terkendala. Baru empat lantai, itu pun masih berupa kontruksi yang tentu saja belum bisa dipergunakan, distop pembangunannya oleh terdakwa Tedja Widjaja. “Jadi, omong kosong belaka kalau terdakwa Tedja Widjaja maupun penasihat hukumnya mengklaim gedung kampus itu dibangun terdakwa sampai mengeluarkan anggaran Rp 36 miliar. Begitu pula pembayaran tunai Rp 6,44 miliar pun hanya di bibir terdakwa saja,” kata Anton.
Dia menyebutkan, tiada pilihan lain oleh pihak Yayasan UTA 45 kecuali melanjutkan pembangunan itu sampai tuntas delapan lantai agar ada tempat belajar mahasiswa UTA 45 pada berbagai jurusan. “Atas penelantaran itu pula, dan dilanjutkannya pembangunan gedung kampus itu oleh Yayasan UTA 45 menjadikan tiada serahterima gedung kampus tersebut dari PT Graha Mahardika atau terdakwa Tedja Widjaja terhadap Yayasan 45. Kalau benar terdakwa atau PT Graha Mahardika membangun gedung UTA 45 tentu saja ada pula serahterimanya. Masa bangunan dengan anggaran sebesar itu tanpa serahterima atau tanda terima dari pihak yang membangun (terdakwa Tedja Widjaja) kepada Yayasan UTA 45,” tutur Anton.
“Jadi, apa yang dikemukakan terdakwa maupun pembelanya dalam pledoi tidak sesuai fakta dan alat bukti. Semua itu hanya rekayasa terdakwa,” ujar Anton mengaku percaya majelis hakim PN Jakarta Utara juga sependapat dengan dirinya bahwa apa yang dipaparkan terdakwa dan pembelanya dalam pledoi jauh dari fakta dan alat bukti yang ada.
“Kami optimis tuntutan JPU Fedrik Adhar bakal diterima majelis hakim. Majelis hakim pun tentunya tidak dapat menerima apa yang dikemukakan terdakwa dan pembelanya dalam pledoi hanyalah rekayasa dan karangan saja dengan harapan majelis hakim mengikuti apa yang mereka kehendaki,” kata Anton Sudanto.
Terdakwa Tedja Widjaja sebelumnya dituntut 3,5 Tahun penjara oleh JPU Fedrik Andhar. Selain itu, terdakwa juga diminta agar dijebloskan ke dalam tahanan sehingga tidak bisa lagi melenggang bebas seperti saat ini selama mengikuti persidangan kasusnya.
(Red)